When Your Hero Became a Zero


Sebelumnya dia ingin bilang maaf.
Tapi lingkungannya bukan seperti itu.
Dia terbiasa memendam pendapatnya sampai lupa. Dia juga terbiasa menerima pendapat lain yang bertentangan dengannya.
Dulu sekali, sang pahlawan pernah berkata seperti ini,
"Aku ga ada masalah sama kalian. Lebih baik kalian aku siksa sampai mati daripada aku harus berurusan sama orang lain"
Dia sudah lupa perkara apa itu, tapi entah kenapa kalimat itu tersimpan jelas dalam pikirannya.
Apa kami tidak berharga baginya? Hanya itu yang terlintas dalam benaknya, tapi semua itu terlupakan. Bersama kalimat dan kejadian-kejadian lainnya. 
Sang pahlawan tetap menempati posisi penting dalam hatinya.

Lalu dia menemukan buku itu.
Buku yang membuat dia menyimpulkan banyak hal, sekaligus bertanya banyak hal. Tapi pertanyaannya terbungkam. Tidak sanggup ia utarakan.
Yang dia ingat, saat dia membaca buku itu hatinya mencelos. Dia menangis dalam diam, berpikir banyak hal. 
Huruf awal itu perlahan mulai berubah.

Lalu waktu berlalu. Tahun berganti tahun. Dengan modal buku itu, cukup membuatnya asing berada disana.
Dia semakin peka, bahwa semua yang ia lakukan adalah objek yang bisa disalahkan. Bebas. Apapun alasannya.
Tapi dia terima, karena dia merasa tidak berhak untuk marah.
Mungkin kalau dia jadi anak manis yang penurut, semuanya akan berpihak padanya.

Tapi dia bodoh. Tentu saja hal seperti itu tidak ada. 


"ANAK SETAN KAMU! ANJING! MAU JADI LONTE KAMU HAH?"
Well, yap. Cukup sampai situ. Kalimat ini yang berhasil merubah huruf depan itu. Mengubah keseluruhan makna didalamnya.
Meruntuhkan tembok pertahanan yang dia bangun pasca pertemuannya dengan buku sakti itu. Membuat sebuah lubang besar mengaga.
Waktu itu perkara minta ijin kembali ke kampus sehari lebih cepat. Sudah minta ijin, tapi mungkin pahlawannya lupa, atau terlampau khawatir kapadanya.
Tapi dia sudah (di)jadi(kan) lonte oleh pahlawannya. Sudah gugur semua pertahanan dirinya.
Sejak saat itu, semua hal yang diucapkan sang pahlawan menjadi omong kosong.
Dia benci, dia jengkel dengan semua sikap dan perilaku nya.
Tapi dia lebih benci lagi dengan dirinya, karena membenci pahlawannya.
Dia benci karena tidak tahu akan menyalahkan siapa.
Kenapa perkara menyalahkan tidak semudah yang dilakukan pahlawannya saat menyalahkan orang lain?

Yang jelas, semuanya sudah tidak akan pernah sama lagi. Mereka paham itu.
Mungkin keduanya sama-sama ingin membicarakan ini dan berpelukan, tapi lingkungannya bukan seperti itu.
Mereka akan terpisah jauh, dari lubuk hatinya.
Akan selalu ada batas dan jarak diantara mereka yang masing-masing tidak akan bisa dilewati.
Tapi mungkin memang sudah seperti ini jalannya.
Persis seperti kebencian yang selalu pahlawannya utarakan kepada ketuanya. Ia sangat membenci ketuanya. Benci sepenuh hatinya.
Benci hingga ketuanya sudah pergi jauh pun, dia masih menyimpan rapi seluruh dendamnya.

Mungkin, dia hanya mengikuti jalan setapak yang sudah pahlawannya buat.



Ah, sudah bukan pahlawan ya sekarang.





Komentar

Postingan Populer